Umroh Mandiri vs Umroh Lewat Travel: Mana yang Lebih Aman dan Nyaman?

Pengesahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh menjadi tonggak penting dalam tata kelola ibadah umroh di Indonesia.

Regulasi baru yang menggantikan UU No. 8 Tahun 2019 ini menghadirkan sejumlah pembaruan, termasuk pengakuan resmi terhadap umroh mandiri, sebuah inovasi yang memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk melaksanakan ibadah umroh tanpa harus melalui travel resmi.

Salinan Pasal 86, UU Nomor 14 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah

Umroh Mandiri Diperbolehkan, Tapi Tidak Tanpa Tantangan

Melalui Pasal 86 dan Pasal 87A, jamaah kini diperbolehkan melaksanakan umroh mandiri asalkan memenuhi seluruh persyaratan administratif mulai dari paspor, visa, tiket, hingga bukti pembelian paket layanan dari penyedia layanan melalui Sistem Informasi Kementerian.

Kebijakan ini menawarkan fleksibilitas tinggi, sangat cocok bagi jamaah yang sudah berpengalaman, memahami alur perjalanan, memiliki pengetahuan manasik yang baik, dan menyukai kebebasan dalam mengatur waktu serta layanan.

Namun di sisi lain, tidak semua jamaah siap menghadapi tantangan administratif dan teknis perjalanan internasional terutama lansia, keluarga besar, atau mereka yang baru pertama kali berangkat.

Bagi kelompok ini, pendampingan profesional dari Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tetap menjadi pilihan yang jauh lebih aman dan bijak.

Tantangan dalam Umroh Mandiri: Tidak Semudah yang Dibayangkan

Kebijakan baru yang memperbolehkan umroh mandiri memang membuka kesempatan besar bagi umat Islam Indonesia untuk beribadah dengan lebih fleksibel.

Namun, di balik kemudahan itu, terdapat berbagai tantangan nyata yang harus dipahami dengan baik, berikut beberapa tantangan utama yang sering dihadapi jamaah umroh mandiri:

1. Tantangan Administratif

Mengurus dokumen perjalanan umroh tidak sesederhana mengatur liburan biasa. Jamaah harus memastikan semua berkas lengkap dan valid, mulai dari paspor dengan masa berlaku minimal 6 bulan, visa umroh resmi dari sistem yang diakui pemerintah Arab Saudi, tiket pulang-pergi, hingga bukti pemesanan layanan yang terdaftar di Kementerian umroh dan haji.

Kesalahan kecil dalam proses administrasi seperti kesalahan nama, visa yang tidak sesuai, atau tidak tercatat di sistem bisa berakibat fatal, termasuk penolakan masuk ke Arab Saudi.

2. Tantangan Teknis dan Logistik

Mengatur seluruh aspek perjalanan sendiri, seperti pemilihan maskapai, penginapan, transportasi antar kota (Makkah–Madinah), serta jadwal ibadah, menuntut kemampuan manajerial yang tinggi.
Tanpa pengalaman, jamaah sering menghadapi masalah seperti:

  • Salah memilih hotel yang terlalu jauh dari Masjidil Haram atau Nabawi.
  • Tidak mengetahui aturan bagasi maskapai dan imigrasi Arab Saudi.
  • Kesulitan mengatur waktu dan transportasi antar kota dengan efisien.
  • Tidak adanya pendamping jika terjadi keadaan darurat (sakit, kehilangan barang, atau tersesat).

Bagi jamaah lansia, keluarga besar, atau yang baru pertama kali ke Tanah Suci, kondisi ini bisa sangat melelahkan dan mengganggu kekhusyukan ibadah.

3. Kendala Bahasa dan Komunikasi

Sebagian besar masyarakat Arab Saudi menggunakan bahasa Arab, sementara banyak jamaah Indonesia belum fasih berkomunikasi dalam bahasa tersebut.

Dalam situasi seperti di bandara, hotel, atau saat membutuhkan bantuan medis, kendala bahasa bisa menyebabkan miskomunikasi dan memperlambat penanganan.

Travel resmi biasanya memiliki muthawwif (pendamping ibadah) dan tour leader yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, yang perannya sangat penting dalam membantu jamaah.

4. Keterbatasan Teknologi dan Akses Sistem Digital

Umroh mandiri sangat bergantung pada kemampuan jamaah dalam menggunakan teknologi digital.
Pendaftaran visa, pemesanan hotel, penerbangan, hingga pelaporan ke sistem Kementrian dilakukan secara online.

Tidak semua calon jamaah terutama dari kalangan lanjut usia mampu melakukan transaksi digital, memahami sistem check-in online, atau mengatasi kendala teknis seperti kegagalan verifikasi dan error sistem.

5. Pemahaman Manasik dan Fiqih Ibadah

Bagi jamaah yang belum pernah umroh, pemahaman tentang rukun, wajib, dan sunnah umroh menjadi hal krusial.

Tanpa bimbingan manasik yang memadai, jamaah bisa keliru dalam melaksanakan ibadah umroh yang berpotensi membuat ibadahnya tidak sah atau kurang sempurna.

Travel resmi biasanya menyediakan pembekalan manasik sebelum keberangkatan dan pendampingan langsung selama di Tanah Suci, layanan yang tidak dimiliki oleh jamaah mandiri.

6. Kurangnya Jaminan Perlindungan dan Pendampingan

Ketika berangkat mandiri, jamaah bertanggung jawab penuh atas keselamatan dan kenyamanan dirinya. Jika terjadi masalah seperti keterlambatan pesawat, kehilangan dokumen, atau kondisi darurat medis, tidak ada pihak yang berkewajiban langsung membantu, kecuali kedutaan besar.

Berbeda dengan jamaah travel resmi yang mendapat perlindungan dan penanganan cepat karena semua layanan sudah terkoordinasi dengan baik.

Kesimpulan: Dua Jalur, Satu Tujuan

Dibolehkannya umroh mandiri melalui UU No. 14 Tahun 2025 adalah kabar baik yang memberikan pilihan baru bagi umat Islam Indonesia.

Masyarakat kini bebas menentukan cara terbaik dalam menunaikan ibadah umroh, baik secara mandiri bagi yang berpengalaman dan memahami prosedur, atau melalui travel resmi bagi yang mengutamakan kenyamanan, kepastian, dan bimbingan ibadah terstruktur.

Keduanya memiliki segmentasi berbeda, namun tetap berada dalam naungan hukum dan pengawasan negara.

Dengan sinergi antara jamaah, pemerintah, dan penyelenggara travel, diharapkan penyelenggaraan umroh ke depan menjadi lebih aman, tertib, berkesan, dan membawa manfaat bagi seluruh umat.

Artikel yang Direkomendasikan